Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Hal Duniawi Lebih Diprioritaskan dari Hal Rohani

Ketika Hal Duniawi Lebih Diprioritaskan dari Hal Rohani

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Matius 16:26

Manusia duniawi dengan cerdik menilai setiap kesempatan dan dengan hati-hati mengembangkannya sebelum peluang itu berlalu. Petani secara hati-hati membajak lahannya dan menanam benih pada musim yang tepat. Ketika musim panen tiba, ia tidak akan ketiduran, kalau  ia tidak mau kehilangan hasilnya. Betapa dengan cermat dan mata tajam para pedagang berusaha meningkatkan peluang demi memperkaya dirinya!

Manusia cenderung cepat tanggap terhadap peringatan munculnya bahaya yang mengancam harta milik mereka yang fana! Oh bagaimana sigapnya mereka mengatur diri demi menghindari ancaman bencana! Tetapi jika kita memikirkan bagaimana sikap manusia umumnya terhadap hal-hal yang merupakan tempat kesejahteraan mereka bergantung, alangkah besar perbedaannya. Dalam hal ini, kita melihat betapa dingin, pasif, dan acuhnya kebanyakan orang.

Betapa langka orang berhikmat di antara begitu banyak manusia! Betapa perlunya nasihat dan teguran yang terus diulangi demi menjaga hati dari keterlelapan! Betapa banyak keberatan-keberatan diajukan! Oh betapa kesulitankesulitan membesar, dan pikiran langsung menjadi kecut! Alangkah acuhnya manusia akan kebutuhan memaksimalkan waktu mereka untuk urusan rohani, dan kesejahteraan mereka di dunia mendatang!

Betapa sulitnya meyakinkan manusia tentang ketidak-pastian hidup di dunia dengan segala kenikmatan-kenikmatannya! Kita memiliki begitu banyak petunjuk untuk menuntun kita agar hidup selaras di jalan yang benar dan adil. Begitu banyak firman Allah tersedia di hadapan kita. Alkitab ditulis sesuai kemampuan manusia, demi memberi pencerahan.

Kita memiliki jauh lebih banyak alat bantu untuk menjadikan kita bijaksana dalam hal-hal yang kekal dibandingkan dengan yang sementara. Jika orang tidak menghargai hal yang kekal sebagai suatu kenyataan, hal ini bukan karena kurang bukti kebenarannya. Penyebabnya jelas karena sikap tidak perduli terhadap pentingnya kebenaran yang telah dinyatakan dengan bukti paling jelas.

Diterjemahkan dari buku “Voices From The Past” dengan cuplikan tulisan Jonathan Edwards, Works, I:158-159.